Sunatullah telah menetapkan bahwa setiap bentuk mahluk hidup Allah pasti ada yang memiimpin dan yang dipimpin. Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu karena agar pemikiran-pemikiran tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan putus tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan.
Setiap golongan yang tidak mempunyai pemimpin yang bisa mereka jadikan tempat mengadukan kesulitan–kesulitan itu, sama halnya mereka sedang naik kuda (kendaraan) liar yang nakal, pada malam hari yang gelap gulita (dalam keadaan panik dan bingung mengatasi kesulitan yang dihadapi),
Apabila ruh berfunngsi sebagai ketegakan (kehidupan) rasa, maka para pemimpin setiap bangsa adalah ruh persatuan meraka dalam kehidupan bermasyaratkat dan bernegara. Apabila para pemimpin rusak, maka rusaklah umat atau bangsa itu, dan jika mereka baik maka menjadi baiklah umat atau bangsa itu. Karena umat akan berdiri kokoh dan sejahtera mana kala pemimpin-pemimpin umat itu menggerakkannya. Jika mereka (umat) sedang loyo, maka semangat yang diberikannya, lalu mereka meluruskannya ketika bengkok, menarik tangannya ketika mereka (umat) jatuh dan membimbingannya ketika sedang sesat.
Pemimpin itu belum bisa dianggap pemimpin yang sejati kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan , yakni berfikir cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa mengendalikan diri, perkasa , bersih atau tulus hatinya, baik perilakunya, dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan bagi kesejahteraan umatnya dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan keseluruh pelosok tempat tinggal ummat. barang siapa yang jejak perjalanannya seperti itu dan sanggup memikul tanggung jawab yang berat sebagaimana tersebut, maka dia baru bisa disebut sebagai “tokoh atau Pemimpin sejati”. Jika ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi pemimpin maka orang itu termasuk perampas yang bodoh, tetapi mengaku pintar ingin menjadi pemimpin karena gila pangkat semata.
Banyak sekali orang yang akalnya berebut menjadi pemimpin, padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin sedikitpun. Mereka itu tidak sadar bahwa pemimpin bangsa itu sebenarnya adalah juru bicara yang menyuarakan hati nurani rakyat, pemikir mereka, tempat pengaduan rakyat ketika mereka menghadapi kesulitan dan perlindungan mereka ketika dalam keadaan bahaya, tempat meminta pertolongan ketika dilanda krisis dan sebagai tempat sandaran rakyat diwaktu mereka menghadapi persoalan besar.
Setiap umat memiliki periode-periode yang dalam periode itu mereka tidak dipimpin, kecuali oleh pemimpin-pemimpin yang tulus , pemimpin-pemimpin yang baik dan reformis. Kemudian masa berubah dan periode kepemimpinan itu turut berubah, dan keadaan berbalik. Umat itupun akhirnya dipimpin oleh orang-orang yang fasik, rendah budi pekertinya, tidak ambil pusing dengan kebodohan dan kemaksiatan, lacur, bodoh dan menjadi pengikut-pengikut syaitan.
Ingatlah bahwa zaman itu berubah , umat atau bangsa (timur) telah bangun dari tidurnya dan telah bangkit. Sadar dari kelalaiannya, mereka tidak rela terus menerus menjadi tawanan orang yang berusaha menghancurkan dan memperbudaknya. Mereka tidak mau mengakui pemimpin kecuali yang berjiwa
reformis dan baik, yang rela mati demi kehidupan umat, senang dan susah payah demi kemampuan umat dan sanggup hidup sengsara demi kebahagiaan umat.
Majulah wahai generasi muda, untuk menuntut ilmu secara sempurna, berpegang teguhlah dengan ahlak yang mulia dan rajinlah beramal shaleh dengan bimbingan akal yang sehat, agar engkau kelak menjadi pemimpin bangsamu dan kepala dalam keluargamu.
Waspadalah terhadap bisikan hatimu untuk berambisi memegang jabatan pemimpin atau rayuan yang merayumu dengan keenakan memegang jabatan kepemimpinan. Sedangkan engkau belum layak mendudukinya, engkau justru akan menjerumuskan umatmu kejurang kesengsaraan dan engkau sendiri menjadi hina-dina.
Suatu bangsa tidak akan hidup baik tanpa pemimpin, dan tidak guna pemimpin jika orang-orang bodoh tampil menjadi pemimpin. Rumah takkan bisa tegak tanpa pilar, dan tiada arti pilar yang berdiri tanpa dasar, jika lengkap dasar-dasar dan pilar-pilar, maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharapkan. (Idhotun Nasyihi’in)
0 komentar
Posting Komentar